Wednesday 19 March 2014

SEJAK KAPAN MANUSIA BISA DISEBUT ‘NAFS’

No comments:
By Agus Mustofa

Mempelajari Al Qur’an sebagai sumber inspirasi akan menggiring kita untuk terus menyelam semakin jauh ke dalam kitab suci ini. Karena, ternyata setiap ayat memiliki keterkaitan dengan ayat-ayat lain. Ketidak-jelasan informasi di dalam suatu ayat, memperoleh penjelasan di ayat lainnya. Maka, tak terhindarkan lagi, kita seperti didorong untuk terus membuka lembaran-lembaran kitab suci untuk menemukan ayat-ayat yang terkait dengan tema yang sedang kita bahas.

Terkait dengan penciptaan manusia ini, banyak sekali clue yang bisa kita tangkap dari dalam Al Qur’an untuk menggiring pemahaman kita terhadap realitas yang misterius. Di notes sebelumnya, saya telah mengemukakan tiga clue yang membingkai proses pemahaman kita terhadap eksistensi Adam. Yakni, pertama: Adam bukan manusia pertama melainkan khalifah pertama. Yang kedua: Adam diciptakan dengan mengikuti sunnatullah, yakni dilahirkan dari komunitas yang sudah ada. Dan yang ketiga, manusia laki-laki maupun perempuan memiliki asal-usul yang sama, dari yang disebut sebagai nafsin waahidatin alias stem cell.

Khusus mengenainafsin waahidatin kita bisa memperoleh penjelasan lebih jauh, agar memperoleh penafsiran yang lebih mengerucut. Siapakah yang disebut Al Qur’an sebagai diri yang satu itu, dan mulai kapan seorang manusia bisa disebut sebagai nafs? Apakah sesudah terlahir sebagai manusia ke muka Bumi, ataukah ketika berupa janin berusia 120 hari sebagaimana disebut di dalam hadits, ataukah 8 minggu seperti sebagian pendapat, ataukah sesaat setelah bertemunya sel telur dan spermatozoa ketika ia sudah menjadi stem cell? Ayat berikut ini agaknya bisa menjadi penjelasnya.

QS. Al A’raaf (7): 172
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan bani Adam dari (sumsum) tulang belakang mereka dan Allah mengambil syahadat atas NAFS (jiwa) mereka (seraya berfirman): ‘’Bukankah Aku ini Tuhanmu?’’ Mereka menjawab: ‘’Betul, kami bersaksi.’’ (Yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘’Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini.’’

Ayat di atas seringkali ditafsiri sebagai cerita tentang alam ruh, dimana para ruh disumpah oleh Allah untuk mengakui-Nya sebagai Tuhan, sebelum ditiupkan ke dalam tubuh manusia. Tetapi, saya memahaminya secara berbeda. Ayat itu, sebenarnya tidak bercerita tentang ruh melainkan tentang JIWA. Karena itu, Anda tidak akan menemukan istilah ruh ataupun arwah (jamak) dalam ayat di atas. Istilah yang digunakan adalah anfus, jamak dari NAFS yang bermakna jiwa. Wa asyhadahum ‘ala anfusihim – Dan (Allah) mengambil syahadat atas jiwa-jiwa mereka.

Kebanyakan penafsir berpendapat ruh dan jiwa adalah sama. Tetapi, saya memahaminya sebagai entitas yang berbeda. Apalagi, Al Qur’an pun menyebutnya dengan istilah yang berbeda – yang satu ruh yang lainnya nafs. Dan menariknya, Al Qur’an tidak pernah menyebut kata ruh dalam bentuk jamak, arwah. Hal ini menunjukkan ruh adalah entitas tunggal, yang sama untuk seluruh manusia, berupa potensi kehidupan dari Sang Maha Pencipta. Yang bisa berbeda bukanlah ruh, melainkan jiwa. Sehingga Al Qur’an pun mengenalkan sebutan jamak terhadap jiwa, yaitu anfus (jiwa-jiwa). Lebih detilnya bisa dibaca di buku DTM-5: ‘MENYELAM KE SAMUDERA JIWA & RUH’.

Kembali kepada nafsin waahidatin yang menjadi sumber berkembangbiaknya laki-laki dan perempuan dari keturunan bani Adam, saya memahaminya sebagai stem cell. Apakah tafsir seperti ini tidak berlebihan? Bukankah nafs adalah sebutan untuk sesuatu yang sudah berjiwa? Apakah sel sudah berjiwa? Demikianlah pertanyaan yang lantas bermunculan.

Tentu saya tidak berani sembarangan menafsiri jika tidak ada dasar ayatnya. Apalagi, kita memang sedang mencari petunjuk atau clue dari ayat-ayat Al Qur’an. Nah, ayat di atas menjadi petunjuk itu. Bahwa, keturunan bani Adam ini sudah disebut NAFS oleh Allah semenjak di dalam rahim. Pada usia berapa? Pada saat-saat awal penciptaan. Yang istilah Al Qur’an: ‘’... ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan bani Adam dari (sumsum) tulang belakang mereka..’’.

Inilah saat-saat paling awal dari proses penciptaan manusia, dimana sel telur dan sperma baru terbentuk dari stem cell yang memang bersumber di sumsum tulang belakang manusia. Dan kemudian membentuk stem cell janin setelah proses pembuahan, yang menjadi momentum peleburan sel telur dan sel sperma, sebagai mekanisme penciptaan manusia baru.

Saat itu, Allah sudah menyebut sel induk itu sebagai NAFS. Bahkan sudah diminta bersyahadat, mengakui keesaan Tuhan. Tentu saja, tidak verbal seperti syahadat kita yang sudah hidup di luar rahim, karena bentuknya memang masih berupa sel tunggal. Namun, bukankah di dalam sel itu sudah tersimpan kode-kode genetika yang menjadi sistem informasi dasar untuk mengendalikan proses penciptaan keturunan Adam? Dan, bukankah substansi kalimat-kalimat yang kita ucapkan pun adalah wujud dari sebuah sistem informasi? Bahwa, bersyahadat adalah sebuah pengakuan atas keesaan Allah sebagai satu-satunya Penguasa Jagat Semesta. Dimana, sistem informasi di dalam genetika itu pun telah menunjukkan kecanggihan sistem yang mengarah kepada Zat yang Maha Kreatif sebagai Aktor Tunggalnya..!

Sekedar catatan, mengenai cikal bakal manusia yang disebut Al Qur’an berasal dari sumsum tulang belakang ini, memang ada yang mengkritiknya. Karena, sel telur dan sperma tidaklah ‘bersarang’ di tulang belakang, melainkan di organ-organ reproduksi. Hal ini telah saya uraikan dalam buku DTM-37: ‘Menjawab Tudingan KESALAHAN SAINTIFIK AL QUR’AN’. Bahwa, menurut penelitian terbaru – diantaranya dilakukan oleh tim ilmuwan Jerman Prof. Karim Nayernia – sel sperma maupun sel telur itu terbentuk dari stem cell yang bersarang di sumsum tulang belakang. Sedangkan organ-organ reproduksi itu menjadi ‘terminal antara’ sebelum sperma dipancarkan ataupun sel telur dilepaskan dari indung telurnya.

Tim peneliti itu, diantaranya, berhasil membuat sperma primitif dari sumsum tulang belakang. Bahkan, bukan cuma membuat sperma laki-laki, melainkan juga ‘sperma perempuan’. Sebuah penemuan – terlepas dari masalah etika – yang menurut mereka akan membuka peluang bagi pasangan lesbi untuk memiliki anak, karena ‘sperma perempuan’ itulah yang digunakan sebagai pengganti untuk membuahi sel telur pasangannya. Sperma perempuan itu dibiakkan dari sumsum tulang belakang seorang wanita.

Jadi, ayat di atas menjadi salah satu clue tentang asal usul Bani Adam yang diistilahkan sebagai ‘satu diri’ itu. Bahwa, cerita tentang nafsin waahidatin bukanlah menunjuk kepada Adam sebagai sosok tunggal yang menjadi asal usul penciptaan Hawa, dan kemudian dari keduanya berkembang biak manusia modern yang disebut al insaan. Melainkan, bercerita tentang stem cell yang sudah berjiwa meskipun dalam skala yang masih sangat primitif, sehingga disebut sebagai nafs. Ia sudah memiliki pusat kecerdasan informasi di dalam inti sel dalam bentuk sistem genetika. Sebuah sistem yang bekerja berdasar perintah cerdas tertentu yang inheren, sekaligus bisa merespon aksi dari luar sel, yang akan berpengaruh pada proses pembentukan makhluk bernama manusia lewat pembelahan-pembelahan sel yang terkontrol. Subhanallaah..


QS. As Sajdah (32): 7-9
(Dialah) Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya, dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya (sebagian) ruh-Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur
.

Wallahu a’lam bissawab
~ salam ~

Sumber : SEJAK KAPAN MANUSIA BISA DISEBUT ‘NAFS’ (FACEBOOK AGUS MUSTOFA)

No comments:

Post a Comment

 
back to top