Kita
menjadi lazim dengan ibadah atau kebaktian gereja yang berlangsung pada
hari Minggu. Kita mengenal ada Sekolah Minggu, ada kebaktian raya hari
Minggu. Tetapi pernahkah kita bertanya apa dasar Alkitabnya sehingga
kita harus berbakti pada hari Minggu?
Sebagai orang Kristen—yang arti literal sederhananya adalah pengikut Kristus,
yaitu Yesus dari Nazaret—maka teladan dan ajaran Yesus adalah inspirasi
dan teladan utama kita. Kita tahu, setiap hari merupakan harinya Tuhan
(Roma 14:5-6)—setiap jam dan setiap detik adalah waktu untuk menjalin
hubungan mesra dengan Bapa sesuai kebebasan rohani, namun demi kita
Allah sendiri telah memilihkan satu hari sebagai hari perhentian agar
kita menguduskannya dan berbakti pada hari tersebut seperti yang
dilakukan Yesus Kristus, Tuhan atas hari Sabat. Pada hari apakah Yesus
Kristus berbakti?
“Ia
datang ke Nazaret, tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada
hari Sabat, Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari
Alkitab.” (Lukas 4:16)
“Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat.” (Lukas 4:31)
“Pada
suatu hari Sabat lain, Yesus masuk ke rumah ibadat, lalu mengajar. Di
situ ada seorang yang mati tangan kanannya.” (Lukas 6:6)
“Pada suatu kali Yesus sedang mengajar dalam salah satu rumah ibadat pada hari Sabat.” (Lukas 13:10)
“Mereka tiba di Kapernaum. Setelah hari Sabat mulai, Yesus segera masuk ke dalam rumah ibadat dan mengajar.” (Markus 1:21)
“Pada
hari Sabat Ia mulai mengajar di rumah ibadat. Ada banyak orang di situ.
Waktu orang-orang mendengar pengajaran Yesus, mereka heran sekali.
Mereka berkata, ‘Dari mana orang ini mendapat semua itu? Kebijaksanaan
macam apakah ini yang ada pada-Nya? Bagaimanakah Ia dapat mengadakan
keajaiban?” (Markus 6:2)
Yesus memiliki kebiasaan untuk datang ke rumah ibadat pada hari Sabat. Lalu hari Sabat itu apa? Apakah hari Sabat itu hari Minggu?
Untuk
memahaminya tentu kita harus mengerti hari Sabat seperti yang dilakukan
oleh Yesus, yang merupakan hari Sabat orang Yahudi. Hukum Sabat adalah
bagian dari hukum moral yang paling penting dari hukum Taurat, yaitu
kesepuluh Perintah Allah. Hukum tentang Sabat berada pada perintah yang
ke-4.
“Ingatlah
dan kuduskanlah hari Sabat: Enam hari lamanya engkau akan bekerja dan
melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat
YHVH, Allahmu; … sebab enam hari lamanya YHVH menjadikan langit dan
bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah
sebabnya YHVH memberkati hari Sabat dan menguduskannya.” (Keluaran
20:8-11)
Rupanya
hari Sabat adalah hari ketujuh di mana orang Israel diperintahkan untuk
berhenti dari segala pekerjaannya. Dengan demikian sabat (shabbat)
sendiri artinya adalah berhenti dari segala pekerjaan. Tentu saja bagi
orang Israel ada banyak sabat (hari perhentian). Ada tahun Sabat di mana
pada tahun tersebut bangsa Israel harus merantingi kebun anggur dan
mengumpulkan hasil tanah setelah enam tahun bekerja menaburi ladang.
Pada hari paskah atau hari-hari raya lainnya orang Israel “bersabat”
(Imamat 23:32, Kolose 2:16). Tetapi hari Sabat kudus, di mana orang
Israel akan beribadah setiap pekannya, adalah Sabat hari ketujuh.
Bagaimana
menghitung hari ketujuh tersebut? Kadang-kadang kita dibingungkan oleh
kalendar yang menyebutkan awal pekan adalah hari Senin. Hal ini membuat
hari Minggu menjadi hari yang ketujuh. Tetapi jika kita mengerti makna
kata “Senin” itu sendiri, maka kita tidak akan menempatkannya di hari
pertama dalam pekan, karena “Senin” adalah serapan dari bahasa Arab “Isnain” yang berarti “dua”. Jadi Senin (Arab: yaum Itsnain, Ibrani: yom Sheni) jelas adalah hari ke-2. Karenanya hari pertama adalah “Ahad” (yang berarti “satu”) atau “Minggu” (Inggris: Sunday, Ibrani: yom Rishon) atau. Dengan demikian hari ke-7 akan jatuh pada hari Sabtu (Arab: yaum Sabt, Ibrani: yom Shabbat, Yunani: Sabbaton, Latin: Sabato). Sabat tetap berada pada hari Sabtu. Sama sekali tidak ada perubahan dari kalendar Yahudi ke kalendar Masehi (Gregorian).
Lalu
bagaimana menghitung mulai dan berakhirnya hari Sabat? Alkitab
menyatakan dalam Imamat 23:32 tadi bahwa bagi orang Israel, penghitungan
hari dimulai dari matahari terbenam hingga matahari terbenam.
Penghitungan ini berbeda dengan kalendar Romawi yang memulai hari dari
jam 00.00 sampai jam 24.00. Dengan demikian hari Sabat akan terhitung
mulai dari matahari terbenam di hari ke-6 kita, hingga matahari terbenam
di hari ke-7 kita. Mudahnya, Sabat adalah periode waktu antara Jumat
senja, hingga Sabtu senja.
Ini
merupakan ajaran Allah yang pernah ditulis langsung di atas loh batu
oleh jari tangan-Nya sendiri, dan bukan tradisi manusia (tradisi
Yahudi). Allah tidak pernah memerintahkan untuk mengubah hari berbakti
ini bahkan setelah kebangkitan Yesus Kristus. Tidak ada yang berhak
mengubah hari Sabat ataupun menambah-nambahkan aturan/ tradisi manusia
yang kaku dan munafik ke dalamnya seperti yang dilakukan oleh
orang-orang Farisi (Markus 2:23-28).
“Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat.” (Markus 2:27)
Apa makna rohani Hari Sabat?
1. Sabat sebagai hari peringatan akan penciptaan.
Mengakui
Sabat berarti menghormati proses penciptaan Allah yang menurut Alkitab
terjadi selama enam hari, dan diakhiri dengan perhentian di hari ke-7.
“Ketika
Allah pada hari ketujuh telah menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya
itu, berhentilah Ia pada hari ketujuh dari segala pekerjaan yang telah
dibuat-Nya itu. Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan
menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala
pekerjaan penciptaan yang telah dibuat-Nya itu” (Kejadian 2:2,3)
Dengan
demikian Sabat membantu mengingat bahwa kita ini hanyalah ciptaan, dan
sudah sewajarnya takluk kepada sang Pencipta. Sabat membantu kita untuk
memiliki waktu khusus untuk lebih banyak berkontemplasi, bersekutu dan
beribadah kepada Allah sebagai rasa syukur atas berkat selama enam hari
kita bekerja.
2. Sabat menjadi hari pemulihan.
Seorang
pencipta yang baik pasti mengenal cara merawat ciptaannya. Kita membeli
kendaraan diberi buku panduan untuk merawat kendaraan, termasuk kapan
kendaraan itu harus berhenti dan beristirahat. Apabila manusia terus
menerus berada pada tekanan pekerjaannya dan tidak memiliki waktu untuk
berhenti, maka manusia itu menjadi tidak imbang sehingga hidupnya
kehilangan arah. Butuh waktu untuk berhenti sejenak, dipulihkan dan
kemudian berpacu kembali. Sabat adalah hari berkat. Maka perintah kepada
orang percaya, jadikanlah Sabat bukan sebagai hari beban karena kita
tidak bisa bekerja seperti biasanya, tetapi hari berkat dan sukacita.
“Apabila
engkau tidak menginjak-injak hukum Sabat, dan tidak melakukan urusanmu
pada hari kudus-Ku; apabila engkau menyebutkan hari Sabat, “hari
kenikmatan”, dan hari kudus YHVH, ‘hari yang mulia’; apabila engkau
menghormatinya dengan tidak menjalankan segala acaramu, dan dengan tidak
mengurus urusanmu, atau berkata omong kosong, maka engkau akan
bersenang-senang karena YHVH …” (Yesaya 58:13,14)
Seberapa
sering kita bisa memiliki waktu yang tenang bersama keluarga. Bahkan di
hari Minggu atau “tanggal merah”-pun, tak jarang pekerjaan masih
menghampiri. Kalau kita memiliki hari Sabat, sebagai hari ibadah, kita
akan berkata tegas kepada semua orang yang bekerja bersama kita—dan
biasanya mereka pun akan memahami—bahwa pada hari kudus Sabat, kita
tidak bekerja. Dengan demikian, kita punya hari teduh, untuk lebih
banyak berbagi dengan keluarga, untuk memulihkan kelelahan mental dan
fisik, dan untuk memperbarui semangat hidup.
3. Sabat menjadi pengingat akan Surga.
Di
tengah dunia yang hiruk pikuk, kita mendambakan ketenangan. Itulah
sebabnya kita mendambakan Surga, suatu tempat yang teduh, tanpa dukacita
dan lara, tempat kita bisa berhenti dari krisis dan dunia. Sayangnya
kita memang belum berada di Surga, tetapi kita perlu mengharapkan Surga.
Sabat diberikan untuk menjadi pengingat bagi kita, bahwa di tengah
dunia yang hiruk pikuk, kita bisa berhenti sejenak, dan mencicipi
“Surga”. Maka sebelum berada di Surga, di mana setiap hari adalah
ketenangan Sabat, kita masih membutuhkan Sabat hari ketujuh untuk
“mencicipi Surga”.
“Jadi
masih tersedia suatu hari perhentian, hari ketujuh, bagi umat Allah.
Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat perhentian-Nya, ia sendiri telah
berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti Allah berhenti dari
pekerjaan-Nya.” (Ibrani 4:9,10)
4. Sabat menjadi pengingat pembebasan dari Allah.
Bangsa Israel diberi hari Sabat oleh Allah supaya mereka mengingat perbudakan mereka di Mesir dan pembebasan Allah.
“Sebab
haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di tanah Mesir dan
engkau dibawa keluar dari sana oleh YHVH, Allahmu dengan tangan yang
kuat dan lengan yang teracung; itulah sebabnya YHVH, Allahmu,
memerintahkan engkau merayakan hari Sabat.” (Ulangan 5:15)
Seperti bangsa Israel, kita pun telah dibebaskan oleh Allah dari belenggu dosa melalui Yesus Kristus yang telah dijanjikan-Nya. Sabat
menjadi simbol dari penebusan atas kita, simbol dari pengudusan kita,
tanda kesetiaan kita, dan awal dari masa depan kekal di dalam Kerajaan
Allah. Sabat menjadi tanda perjanjian kekal antara Allah dan kita.
Perbaktian penuh sukacita pada hari kudus ini merupakan perayaan akan
karya kreatif pembebasan kita dari belenggu dosa melalui Kristus.
Seperti
yang kita tahu, Yesus Kristus yang bangkit dari maut telah susah payah
mengajarkan kita banyak hal, termasuk mengundang kita supaya merayakan
hari Sabat dengan penuh kegembiraan. Karena itu Allah memberi kita Sabat
sebagai kesempatan untuk merenungkan karya penciptaan dan pembebasan
Allah yang mahadahsyat ini. Dengan memelihara Sabat berarti salah satu
bukti bahwa kita telah mengikuti teladan Kristus dan mengasihi Allah.
Lalu mengapa ibadah Sabat diubah dari Sabtu ke Minggu?
Ini
nampaknya tidak lepas dari dinamika perkembangan Kekristenan setelah
campur tangannya Kaisar Romawi Konstantin I. Seperti yang kita tahu,
Konstantin sangat tertarik untuk menggunakan agama Kristen yang sedang
berkembang pesat menjadi agama pemersatu semua agama-agama Romawi.
Konstantin sendiri bukan seorang Kristen (Katolik), dan baru dibaptis
menjadi Kristen (Katolik) menjelang ajalnya oleh Uskup Eusebius. Tetapi
Konstantin yang masih pagan itu, telah membuat serangkaian kebijakan
yang mengubah arah Kekristenan hingga kini—yaitu dengan mendukung
Kekristenan Barat yang telah berbakti pada hari Minggu seperti yang
ditetapkan pada Konsili Elvira tahun 538 M. Nah, ternyata Konstantin,
yang menyelenggarakan konsili Nicea tahun 325 M, juga campur tangan
dalam menciptakan “tren” mengubah Sabat dari Sabtu ke Minggu dengan
menetapkan perubahan perbaktian dari Sabtu ke Minggu sejak 7 Maret 321
M.
Pada tahun 321 M tersebut, sebagai seorang pengabdi Dewa Matahari (Sun-God), Konstantin mengeluarkan dekrit ini:
“Pada hari agung, sang Matahari (hari matahari, Sunday)
biarlah semua pejabat dan rakyat di perkotaan melaksanakan istirahat,
dan semua tempat kerja diliburkan. Hanyalah di pedesaan, para petani,
boleh dengan bebas dan sah melanjutkan kerja karena seringkali panen dan
penanaman anggur tidak dapat ditunda, karena dapat mengganggu
kelimpahan hasil panen.”
Akhirnya
dekrit Konstantin ini kemudian menjadi pertimbangan bagi Gereja Kristen
Romawi untuk mengeluarkan dekrit dari Konsili Laodekia tahun 364 M
bahwa hari Minggu menjadi hari Sabat yang baru, dan semua ibadah
dilakukan pada hari Minggu bukan hari Sabtu. Para uskup Gereja Kristen
Romawi itu kemudian juga menyebutkan perintah agar: “orang-orang Kristen
jangan berperilaku seperti orang Yahudi, yang berhenti pada hari Sabtu,
tetapi harus bekerja pada hari Sabtu.” Begitu pula dalam Konsili
Orleans tahun 538 M.
Memang
tidak sepenuhnya karena keputusan politik yang dilakukan Konstantin.
Ignatius dari Antiokhia (110 M) pernah berpendapat bahwa seorang Kristen
tidak terikat oleh hari Sabat, namun hari kedelapan, yaitu hari Minggu.
Dia menolak menjalankan Sabat secara harfiah. Demikian juga dengan
Yustinus Martir (145 M) dan Tertulianus (180 M) yang mengingatkan orang
Kristen non-Yahudi bahwa hari Tuhan adalah hari Minggu. Konstantin lalu
menetapkan kebijakan dengan menerapkan kebiasaan orang-orang Kristen
non-Yahudi di wilayah Romawi yang beribadah pada hari Minggu agar para
pemeluk agama pagan mau beralih ke agama Kristen.
Jadi
terlihat jelas di sini bahwa pengubahan hari Sabat dari Sabtu ke Minggu
bukanlah berdasarkan perintah Alkitab yang jelas, apalagi berdasarkan
ucapan Yesus Kristus—sang inspirasi Kekristenan—melainkan hasil
pemikiran orang-orang Kristen tertentu yang mencoba untuk mengikuti arus
politik Romawi. Ada tiga hal yang menjadi dasar perubahan ini:
1. Kekristenan dikepung oleh berbagai ajaran mistis helenistis Romawi, termasuk ajaran penghormatan kepada Dewa Matahari, dan ibadah hari Minggu yang popular di kalangan penganut Mitraisme dari Persia. Sehingga nampaknya ada kepentingan politis untuk membuat Kekristenan sama popularnya dengan agama-agama pagan yang sudah mapan dengan memindah hari ibadah dari Sabtu menjadi sama dengan agama pagan yaitu hari Minggu.
2. Orang-orang Yahudi sedang memberontak kepada Romawi dan dihancurkan. Maka nampaknya ada pemikiran bahwa lebih aman orang Kristen menjadi agama yang terpisah dari Keyahudian supaya tidak ikut dimusuhi oleh penguasa Romawi.
3. Penganiayaan otoritas Yahudi, kepada orang-orang Yahudi dan non-Yahudi yang mengikuti Kristus, telah menimbulkan kebencian terhadap agama Yahudi, sehingga nampaknya ada upaya untuk memisahkan diri dari otoritas Yahudi dan keluar dari jangkauan mereka dengan membentuk ajaran sendiri.
2. Orang-orang Yahudi sedang memberontak kepada Romawi dan dihancurkan. Maka nampaknya ada pemikiran bahwa lebih aman orang Kristen menjadi agama yang terpisah dari Keyahudian supaya tidak ikut dimusuhi oleh penguasa Romawi.
3. Penganiayaan otoritas Yahudi, kepada orang-orang Yahudi dan non-Yahudi yang mengikuti Kristus, telah menimbulkan kebencian terhadap agama Yahudi, sehingga nampaknya ada upaya untuk memisahkan diri dari otoritas Yahudi dan keluar dari jangkauan mereka dengan membentuk ajaran sendiri.
Dari hal-hal tersebut kita juga mengerti mengapa banyak sekte Kekristenan, terutama Kristen-Yahudi yang mengikuti adat Yahudi (Judaizers)
dan tetap beribadah pada hari Sabat, dianggap bidat (sesat) atau
gnostik. Dengan demikian orang Kristen diharuskan menjauhi hal yang
berbau Yahudi jika tidak mau dicap sebagai sesat atau diekskomunikasi
oleh otoritas Gereja. Kebiasaan beribadah pada hari Sabtu pun
perlahan-lahan lenyap dari sejarah Kekristenan. Sejak saat itu,
masyarakat Eropa hanya mengenal Sabat sebagai hari Minggu. Definisi dari
“sabat” pun banyak berubah dari makna asalnya. Lalu pada abad ke-16,
Oswald Glaith, tokoh Reformasi Kristen, dihukum mati oleh Gereja karena
memberitakan bahwa hari Sabat adalah Sabtu (Saturday), bukan Minggu seperti yang dipercaya saat itu. Nasib serupa dialami oleh Andreas Fischer.
Nah,
karena alasan-alasan historis ini bukanlah alasan alkitabiah, maka
nampaknya tidak ada bukti sah dari ajaran Yesus Kristus yang menyuruh
kita, orang-orang percaya yang dikenal Allah, untuk berpaling dari Sabat
hari ketujuh (Sabtu) ke Sabat hari pertama (Minggu). Sabat orang Yahudi
sama sekali belum dihapuskan di atas salib dan berlaku terus untuk
selama-lamanya.
“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” (Yohanes 14:15)
Tambahan:
Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2177 menyatakan “Perayaan hari Minggu yakni hari Tuhan dan Ekaristi-Nya merupakan pusat kehidupan gereja.”
Katekismus Gereja Katolik (KGK) 2177 menyatakan “Perayaan hari Minggu yakni hari Tuhan dan Ekaristi-Nya merupakan pusat kehidupan gereja.”
Sumber: kristentauhid.blogspot.com, gmahk.org, wikipedia.org
No comments:
Post a Comment